[ CONTOH ] PAPER ANALISIS KONFLIK BUDAYA
KONFLIK IDENTITAS SRI LANKA
Berikut ini adalah sebuah Analisis Konflik Identitas SRI LANKA, yang dikirim oleh Nabiilah Syafira Aziz. Semoga dapat menjadi refrensi teman - teman semua dalam mengerjakan tugas kuliah terutama mata kuliah Komunikasi Antar Budaya

Konflik Identitas di Srilanka

analisis kasus budaya, konflik identitas sri lanka
Baca : Contoh papper Analisis Konflik Etnis di Indonesia

A. Latar Belakang Masalah

Srilanka dahulu merupakan bekas koloni Inggris dan memperoleh kemerdekaan tahun 1948. Hampir 74% penduduk menganut agama Hindu. Sejak kemerdekaan, negara ini menghadapi konflik etnis internal yang terjadi antara mayoritas Sinhala dan minoritas.

Ada 3 faktor penyebab konflik identitas seperti yang terjadi di Srilanka. Ketiga faktor itu dapat dikategorikan sebagai faktor internal, faktor eksternal, dan faktor katalis. Berikut Latar Belakang terjadinya konflik di Srilanka :

1. Faktor Internal
Faktor ini berhubungan dengan negara. Faktor internal yang menjadi dasar konflik identitas di Srilanka adalah :
  1. Faktor Agama dan Etnik
    Faktor ini yang menjadi pendorong utama munculnya konflik di Srilanka. Etnis mayoritas Sinhala berbeda bukan saja asal muasal etnis, akan tetapi juga menyangkut Bahasa dan agama jika dibandingkan dengan minoritas Tamil.

    Sinhala mayoritas Budha, sekalipun sedikit diantaranya adalah Katolik. Bahasa asli adalah Sinhala. Mereka diperkirakan berasal dari sebelah utara India pada sekitar 2.500 tahun lalu. Mereka menganggap Srilanka sebagai wilayah khusus umat Budha, dan percaya bahwa Sidharta Gautama datang ke wilayah ini sekitar abad ke-15 sebelum Masehi. Sinhala memandang Srilanka cocok bagi pengembangan agama dan menekan pemerintah bahwa Budha harus dilindungi dan dimajukan.

    Pada sisi lain, etnis Tamil bertutur dalam Bahasa Tamil dan mayoritas mereka beragama Hindu. Mereka dibawa oleh kolonial Inggris untuk menjadi pekerja di perkebunan pada era tahun1830-an. Baik Hindu maupun Budha sesungguhnya berasal dari India dan keduanya eksis di Srilanka dan saling mempengaruhi satu sama lain. Namun, setelah paska kemerdekaan ketika perebutan kekuasaan dimulai dan agama serta etnis menjadi faktor pendorong maka lahirlah konflik etnis berdarah (Zwier, 1998: 13-15).

    Dengan demikian, agama, etnis, dan perbedaan Bahasa memainkan peran signifikan atas munculnya konflik.
     
  2. Penjajahan Inggris dan Dendam Masa Lalu
    Srilanka mengalami penjajahan Portugal, Belanda, dan Inggris. Tetapi Inggris yang meninggalkan warisan paling mendalam dibandingkan Belanda. Inggris mengembangkan kebijakan yang menyokong pembedaan etnis dalam masyarakat. Inggris lebih memberikan perhatian kepada etnis Tamil.

    Ketika dikuasai Portugal dan Belanda, bahasa penjajah hanyalah untuk urusan formal pemerintahan, sementara dalam pergaulan sehari-hari digunakan bahasa setempat. Akan tetapi Inggris memaksakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi.

    Pada 1833, saat Inggris membentuk pemerintahan yang sentralistis, rakyat Srilanka terpaksa harus menguasai bahasa itu, karena hanya dengan penguasaan tersebut mereka akan memperoleh lapangan pekerjaan.

    Pendidikan yang baik dapat ditempuh oleh kalangan etnis Tamil, sementara etnis Sinhala dicuragai oleh misionaris Katolik dan sekolah-sekolah Inggris. Hal ini kemudian menimbulkan hierarki kelas (Kearny, 1967: 56-57).

    Penduduk yang menguasai bahasa Inggris memperoleh pekerjaan dan gaji yang layak dari pemerintah kolonial. Sementara kalangan etnis Sinhala hanya menjadi budak, buruh, dan pedagang di pedesaan.

    Ketegangan segera muncul begitu etnis Sinhala sadar bahwa etnis Tamil memperoleh keuntungan begitu banyak sejak masa kolonial. Dendam masa lalu inilah yang kemudian setelah kemerdekaan memincu prasangka negatif.

    Penyebab lain adalah bahwa kalangan Tamil dibawa oleh pemerintah kolonial Inggris dari kawasan India Selatan . Sinhala mengecap mereka sebagai orang asing. Sinhala cemas jika Tamil bersama-sama kalangan Islam akan mengendalikan negara itu (Taras dan Ganguly, 2010: 179-180).

    Oleh karena itu, di bawah penjajahan Inggris, muncul benih-benih dendam antara Sinhala dan Tamil, dan melahirkan tekanan mayoritas Sinhala terhadap minoritas Tamil.
     
  3. Situasi Paska Kemerdekaan dan Diskriminasi Kebudayaan
    Setelah memperoleh kemerdekaan, mayoritas Sinhala mengendalikan negara. Mereka enggan berbagi kekuasaan dengan kalangan minoritas. Minoritas kemudian mengalami perlakuan buruk setelah kemerdekaan Srilanka.

    Sinhala menuduh Tamil mengeruk keuntungan selama penjajahan Inggris.

    Dendam ini yang kemudian mendorong adanya diskriminasi etnis. Kalangan Tamil tidak memiliki hak pilih setelah kemerdekaan. Pada tahun 1948 dan 1949, Parlemen mengesahkan kalangan Tamil sebagai bukan warganegara. Mereka harus melampirkan bukti untuk menjelaskan asal usul mereka. Hanya 25% permohonan status kewarganegaraan kalangan Tamil yang disahkan, sehingga mayoritas diantara mereka tidak dapat memberikan suara dalam pemilu (Zwier, 1998: 50).

    Gerakan Bahasa Pribumi dibentuk oleh Sinhala dan mendesak kalangan partai politik untuk menjadikan Sinhala sebagai bahasa resmi.

    Pada tahun 1956 diberlakukan undang-undang pengakuan Sinhala sebagai satu-satunya etnis pribumi. Sinhala menjadi satu-satunya bahasa resmi. Kalangan Tamil menuduhnya sebagai upaya dominasi dan menghadirkan situasi saling menekan diantara kedua kelompok etnis itu.

    Konstitusi 1978 akhirnya mengesahkan baik Sinhala maupun Tamil sebagai bahasa resmi. Tamil juga tersingkir dari kesempatan ekonomi. Sementara pada masa penjajahan Inggris mereka menjadi pegawai negeri, setelah kemerdekaan kesempatan itu tidak diakui dan diambil alih oleh Sinhala. Undang-undang yang disahkan sebelumnya memaksa kalangan Tamil untuk mengundurkan diri dari birokrasi karena mereka tidak fasih berbahasa Sinhala. Kesempatan pendidikan akhirnya diperluas bagi kalangan Sinhala. Situasi ini segera mengakhiri dominasi tradisional Tamil.

    Pada tahun 1970, Partai Koalisi Front Bersatu yang dipimpin oleh Nyonya Sirimavo Bandaraneika menelurkan kebijakan yang mempersulit kalangan Tamil untuk meraih akses atas masuk perguruan tinggi untuk program studi kedokteran, sains, dan teknik. Sejak 1980-an, kebijakan ini dihapus. Tetapi ingatan kolektif akan diskriminasi itu masih tetap melekat dalam benak etnis Tamil.

    Pada tahun 1972, di bawah situasi darurat, pemerintah menetapkan konstitusi etnis sebagaimana pernah dirancang oleh Inggris. Tetapi penyusunan konstitusi itu sama sekali mengabaikan Tamil, lebih memberikan perlindungan kepada agama Budha, dan mengabaikan kelompok agama Hindu, Islam, dan Katolik (Devotta, 2009: 1026).

2. Faktor Eksternal
  1. Posisi Geografis
    Posisi geografis Srilanka memberikan andil terhadap berkembangnya konflik. Letak negara yang secara artifisial lemah dan mendorong terbentuknya negara gagal. Wilayah menjadi tempat berkumpulnya gerakan nasionalis tanpa mengindahkan aspirasi kenegaraan, sehingga memungkinkan pengaruh perbatasan masuk dan memberikan efek yang lebih luas (Dondelinger, 2010: 85).

    Nampaknya hal itu cocok untuk keadaan Srilanka yang di wilayah Asia Selatan kebanyakan bercokol negara-negara bekas jajahan Inggris dan memperoleh kemerdekaan pada abad ke-20.

    Gerakan etnis dan nasionalis dimulai dari terbentuknya India dan Pakistan. Pemisahan wilayah timur Pakistan menjadi Bangladesh (1971) memberikan dorongan bagi Tamil. Sebagai akibatnya, LTTE tumbuh menjadi organisasi perlawanan yang keras pada 1972 dan menuntut pemisahan diri.
     
  2. Dukungan Eksternal
    • Faktor India
      India menjalankan peran khusus sepanjang terjadinya konflik. Kebanyakan etnis Tamil adalah warganegara India dan mereka menyeleraskan diri dengan etnis serupa di negara bagian Tamil Nadu yang menekan pemerintah India untuk terlibat dalam konflik. India menerima imigran Tamil dan menyediakan bantuan kepada mereka. India berperan khusus dalam negosiasi perdamaian dan mengirimkan pasukan ke Srilanka (Zwier, 1998: 63-65).
       
    • Faktor Perantau Tamil
      Para perantau etnis Tamil memiliki kedudukan khusus. Sesudah keributan anti Tamil meletus pada 1987, ribuan etnis Tamil pindah ke negara bagian Tamil Nadu dan banyak negara-negara Barat yang menerima sebagai pengungsi politik. Jumlah perantau ini mencapai 450 ribu hingga 500 ribu yang tersebar di 50 negara (Voorde, 2005: 191).

      Para perantau ini berperan menyediakan dana besar bagi gerakan Macan Tamil, bagian dari kelompok perlawanan yang paling militan. Dana itu mencapai tak kurang US$ 300 juta (Montlake, 2009: 12). Mereka mempersenjatai kelompok ini dan menghimpun kampanye propaganda. Mereka menyebarkan visi Macan Tamil ke seluruh penjuru dunia.
       
    • Globalisasi dan Hak Menentukan Nasib Sendiri
      Globalisasi juga memberikan peran yang signifikan. Dalam dunia global, LTTE semakin terorganisir. Misalnya, mereka meluncurkan situs internet. Internet dan telepon menghubungkan kelompok perlawanan ini dengan para perantau di luar negeri. Hak menentukan nasib sendiri dalam hukum internasional juga memotiviasi kelompok perlawanan ini (Whall, 1995: 123).

      Atas nama hak menentukan nasib sendiri, mereka menginginkan otonomi dan kemudian membentuk negara sendiri yang mencakup daerah di kawasan utara dan timur, yang mayoritas dikendalikan oleh etnis berbahasa Tamil (Whall, 1995: 133).

3. Faktor Katalis
Ini menjadi pemicu konflik tersendiri, di samping adanya peran menentukan secara internal dan eksternal. Faktor katalis menyangkut tekanan diantara kalangan etnis Tamil dan Sinhala sejak masa penjajahan Inggris, tetapi, tetap terpelihara setelah memperoleh kemerdekaan. Kebijakan atas dasar diskriminasi etnis tetap dipertahankan. Misalnya UU 1956 dan Konstitusi 1972, berakar dari kebencian terhadap etnis Tamil.

B. Analisa Masalah

Setelah kami mengkaji literatur mengenai konflik identitas di Srilanka, maka dengan begitu kami dapat menganalisa konflik sebagai berikut :

1. Objek Kejahatan :
  • Konflik identitas
2. Faktor Kejahatan :
  • Agama dan etnik : Faktor ini yang menjadikan pendorong utama munculnya konflik karena Srilanka dimayoritasi Sinhala dan diminoritasi Tamil
     
  • Dendam masa lalu : Dulu, kalangan Tamil dibawa oleh pemerintah kolonial Inggris dari kawasan India Selatan. Sinhala mengecap mereka sebagai orang asing. Sinhala cemas jika Tamil bersama-sama kalangan Islam akan mengendalikan Srilanka. Oleh karena itu, di bawah penjajahan Inggris, muncul benih-benih dendam antara Sinhala dan Tamil, dan melahirkan tekanan mayoritas Sinhala terhadap minoritas Tamil.
     
  • Diskriminasi kebudayaan : Setelah memperoleh kemerdekaan, mayoritas Sinhala mengendalikan negara. Mereka enggan berbagi kekuasaan dengan kalangan minoritas. Minoritas kemudian mengalami perlakuan buruk setelah kemerdekaan Srilanka.
     
  • Posisi geografis : Atas nama hak menentukan nasib sendiri, Tamil menginginkan otonomi dan kemudian membentuk negara sendiri yang mencakup daerah di kawasan utara dan timur, yang mayoritas dikendalikan oleh etnis berbahasa Tamil
     
  • Faktor Katalis : Ini menjadi pemicu konflik tersendiri, di samping adanya peran menentukan secara internal dan eksternal. Faktor katalis menyangkut tekanan diantara kalangan etnis Tamil dan Sinhala sejak masa penjajahan Inggris, tetapi, tetap terpelihara setelah memperoleh kemerdekaan. Kebijakan atas dasar diskriminasi etnis tetap dipertahankan. Misalnya UU 1956 dan Konstitusi 1972, berakar dari kebencian terhadap etnis Tamil.
     
  • Respon Pemerintah : Sejak LTTE (Liberation of Tigers Tamil Elam) berkembang menjadi gerakan perlawanan yang kuat, keadaan menjadi semakin buruk. Pemerintah mencoba untuk menghentikan ancaman-ancaman mereka. Pemerintah menerapkan berbagai kebijakan seperti negosiasi perdamaian hingga perang sipil.

3. Sebab Akibat : Tidak ada masalah tanpa sebab. Begitu pun dengan konflik identitas di Srilanka. Mayoritas Srilanka sangat membenci minoritas Tamil karena pada saat penjajahan Inggris, Inggris lebih memberikan perhatian kepada etnis Tamil. Pendidikan yang baik dapat ditempuh oleh kalangan etnis Tamil, sementara etnis Sinhala dicuragai oleh misionaris Katolik dan sekolah-sekolah Inggris.

Hal ini kemudian menimbulkan hierarki kelas. Penduduk yang menguasai bahasa Inggris memperoleh pekerjaan dan gaji yang layak dari pemerintah kolonial. Sementara kalangan etnis Sinhala hanya menjadi budak, buruh, dan pedagang di pedesaan. Dendam masa lalu inilah yang kemudian setelah kemerdekaan memincu prasangka negatif.

Penyebab lain adalah bahwa kalangan Tamil dibawa oleh pemerintah kolonial Inggris dari kawasan India Selatan. Sinhala mengecap mereka sebagai orang asing. Sinhala cemas jika Tamil bersama-sama kalangan Islam akan mengendalikan Srilanka. Oleh karena itu, di bawah penjajahan Inggris, muncul benih-benih dendam antara Sinhala dan Tamil, dan melahirkan tekanan mayoritas Sinhala terhadap minoritas Tamil.

Baca juga :Contoh Analisis Konflik & Pluralisme - Kasus SARA Tanjung Balai

Sumber :
  • https://www.kompasiana.com/isharyanto/konflik-identitas-di-sri-lanka_54f7b70aa33311bd208b4830

Penelusuran yang terkait dengan [ Contoh ] Paper Analisis Konflik Budaya - Konflik Identitas SRI LANKA

latar belakang perang saudara di sri lanka
konflik etnis sri lanka
penyelesaian konflik srilanka
konflik india sri lanka
makalah sri lanka
kebudayaan sri lanka
konflik identitas adalah
sosial budaya sri lanka

" [ Contoh ] Paper Analisis Konflik Budaya - Konflik Identitas SRI LANKA "

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama